Sedikit menengok kebelakang, sedari
awal memang banyak teman/kerabat, termasuk kami sendiri yang sedikit tidak menyangka
kl kami bisa menikah, lantaran latar belakang budaya dan asal daerah yang
berbeda, tempat tingga yang berjauhan, serta sejarah pertemanan kami yang sangat
singkat dan biasa-biasa saja. Dan pada saat memutuskan menikah pun sejujurnya
saya masih belum begitu banyak mengenal istri saya, dan sepertinya begitu juga
sebaliknya.
Sejauh mana saya mengenal, jelas saya kalah jauh bila dibandingkan
dengan sahabat dan teman-teman sepermainanya, teman se-ganknya, teman
sekelasnya, bahkan mungkin teman “sekedar kenal”nya. “Bertemu, berkenalan,
kemudian memutuskan hidup bersama”, mungkin memang seperti itulah sekenario sangat
sederhana yang Alloh telah persiapkan selama ini, dari arah yang tidak
disangka-sangka.
OK lah, saya bohong kalau saya
bilang tidak ada perasaan suka sama sekali. Tapi suka saja jelas tidak cukup. Hal
utama yang saya yakini saat itu adalah bahwa
meskipun kita belum terlalu mengenal jauh tapi kita berdua sama-sama
berniat baik ingin menjalankan As-sunnah, membentuk rumah tangga, hingga Mantap
lah hati ini untuk meminang. Alasan itulah yang menepis kekhawatiran akan permasalahan
ketidakcocokan kepribadian dan/atau kebiasan (meskipu tidak seluruhnya), karena
memang ikatan suci perkawinan dan rumah tangga ini terlalu agung dan tidak
sebanding bila dibandingkan dengan permasalahan tersebut. Insya Alloh, Alloh
akan selalu membantu memberi jalan keluarnya jika masing-masing memegang kuat komitmen
serta saling menghargai dan menghormati posisi masing-masing.
Kehidupan awal pernikahan jadi
masa-masa yang “seru”. Masa dimana kita
saling meraba-raba kepribadian dan kebiasaaan masing-masing. Istriku yang rapi
dan teratur, sementara saya berantakan dan ngawur, istriku yang bisa tidur
cepat, sementara saya biasa tidur larut, istriku yang rame dan enerjik,
sementara saya cenderung pendiam dan pasif, istriku yang supel, sementara saya
yang kaku, dan masih banyak lagi. Seorang sahabat pernah berkata, bahwa proses
saling mengenali dan memahami itu akan terjadi seterusnya, tidak hanya di awal
pernikahan saja. Jangan merasa sudah kenal pasangan 100% meskipun sudah lama
menikah, ada saja hal-hal baru yang ditemui, teruslah mengenali. Jadi, keseruan
ini sepertinya akan terus berlanjut. Hehe.....
Orang bilang, cinta itu bukan
hanya kata sifat, tapi juga kata kerja, cinta itu perlu dibangun dan
ditumbuhkan. Istri saya seorang yang terbiasa sendiri, mandiri, punya penghasilan
sendiri, seorang yang merdeka. Terbesit kekhawatiran apalah arti kehadiran saya
baginya, seolah tanpa kehadiran saya pun ia akan baik-baik saja, malah lebih
merdeka. Apa mungkin ia rela menempatkan seseorang yang belum lama ia kenal
sebagai imamnya, sebagai pemimpinya yang harus ia hormati.
Nyatanya kekhawatiran
saya tidak terbukti. Ia menempatkan saya pada posisi sebagaimana mestinya, rela
menyingkirkan ego pribadinya, menempatakan suami pada posisinya. Ketika itulah, tanpa ia sadari ia membuat pondasi
cintaku menancap dengan kuat, menumbuhkan tunas-tunas cinta yang tertanam. Menyiapkan
pakaian sholat, sesekali menyisiri rambut saya ketika berangkat ke masjid
(meskipun kita berbeda selera soal gaya rambut), menyiapkan sarapan dan bekal
ke kantor, memasak, menyeduh kopi pagi hari, membangunkan dan mengingatkan
waktu sholat, menasehati dengan santun, membetulkan hafalan dan bacaan Quran
saya, dan atas semua kebaikan yang istri saya lakukan, atas semua waktu dan
peristiwa yang kami habiskan bersama dengan sendirinya membangun dan menyuburkan
cinta yang sebelumnya telah ada.
Kalau kesemua proses dan kejadian
yang telah dialami itu harus saya rangkum dalam satu kata, saya memilih
kata........“Indah”
#HAPPY3rdMONTH

No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.