Monday, May 26, 2014

"Terlanjur"

Beberapa Kementerian Negara dan Lembaga akhir-akhir ini sedang dibikin sedikit kalang kabut. Hal ini terkait Instrusi Presiden No 4/2014 tentang Langkah-Langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014. Dalam instruksi tersebut, masing-masing Kementerian negara dan lembaga “dipaksa” untuk melakukan penghematan dan pemotongan anggaran. Penghematan dan pemotongan anggaran dilakukan utamanya terhadap belanja honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat/konsinyering, iklan, pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan operasional, belanja bantuan sosial, sisa dana lelang atau swakelola, serta anggaran dari kegiatan yang belum terikat kontrak (Diktum KETIGA Inpres No. 4/2014).

Berdasarkan lampiran Inpres tersebut, hanya Kemdikbud, KPU, dan Bawaslu yang tidak mengalami pemotongan anggaran. Alasan tidak dilakukanya pemotongan anggaran pada Kemendikbud bisa jadi karena usaha pemerintah untuk tetap menjalanakan amanah konstitusi untuk menyediakan anggaran pendidikan setidaknya 20% dari APBN dan pelaksanaan pemilu presiden yang tidak lama lagi akan dilaksanakan.
Penghematan dan pemotongan anggaran sebetunya bukanlah hal yang baru. Beberapa kali pemerintah juga melakukan Penghematan dan pemotongan anggaran di tengah tahun anggaran menyesuaikan kondosi ekonomi saat itu. Namun, yang berbeda pada Penghematan dan pemotongan anggaran kali ini adalah jumlahnya yang cukup banyak yaitu mencapai total Rp 100 Trilyun dari jumlah anggaran belanja K/L sebelumnya, yaitu Rp 637,841 triliun. Hal tersebut menyebabkan beberapa Kementerian negara dan Lembaga harus sedikit kalang kabut, berakrobat mengatur kembali perencanaan, memilah dan memilih kegiatan mana yang bisa dihemat/dipotong dimana Menteri/Pimpinan Lembaga harus sudah menyampaikan rincian program/kegiatan yang dihemat kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Presiden dan Kepala UKP4 paling lambat 7 (tujuh) hari sejak Inpres tersebut. Akibatnya, banyak kegiatan dan target kinerja Kementerian negara/lembaga yang harus direvisi. Contoh di kantor saya sendiri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang harus melakukan penghematan dan pemotongan anggaran sekitar Rp 196,5 Milyar yang mengakibatkan tidak dapat digunakanya mata anggaran perjalanan dinas untuk melaksanakan banyak tugas BPKP.

Penyebab dilakukanya penghematan dan pemotongan anggaran tersebut (salah satunya) adalah bocornya APBN karena menggelembungnya subsidi untuk energi sedangkan penerimaan negara sudah tidak bisa digenjot lagi. Subsidi energi yang dianggarkan di awal hanya sbesar Rp 282 Trilyun diperhitungkan akan melambung jauh sebesar Rp 110 Trilyun atau menjadi Rp 392 Trilyun (penyebab lain: Perbedaan asumsi kurs nilai rupiah APBN, dll). APBN kembali harus dikuras untuk subsidi. Dalam kondisi tersebut opsi yang tersedia yang bisa diambil adalah pengurangan belanja pemerintah melalui pemotongan dan penghematan anggaran atau mengurangi pengeluaran pemerintah untuk subsidi. Mengurangi subsidi atau dengan kata lain menaikan harga jelas bukan pilihan favorit dan populer karena memerlukan proses yang lama, memerlukan banyak pertimbangan politis (terutama menjelang pemuliu), dan pastinya membebani masyarakat dan menimbulkan protes disana-sini sehingga pilihan yang paling praktis dan efektif yang bisa diambil adalah pemotongan dan penghematan anggaran.

Lagi-lagi sumber energi adalah biang masalahnya. Pengeluaran untuk energi yang harus terus menerus disubsidi memang seakan-akan menjadi momok yang akan selalu menghantui APBN negeri ini. Salah sedikit perhitungan, asumsi yang sedikit meleset, perubahan harga sumber energi yang naik turun, akan dengan mudah menggoyahkan APBN. APBN menjadi sangat rentan.

Logika sederhananya, apabila suau negara tidak dapat dengan baik mengatur dan terlalu tergantung dengan  negara lain/faktor di luar kendali suatu negara untuk kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakatnya seperti sumber energi dan bahan pangan hampir dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan mengalami kesulitan mengatur pendapatan dan pengeluaranya yang dapat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.

Masalah besarnya adalah negara kita sudah dalam kondisi “terlanjur”. Masyarakat sudah terjebak dan terbiasa dengan pola hidup dan kebiasaan konsumsi sumber energi yang terlalu konsumtif dan kurang cerdas disamping sifat dasar dari konsumsi energi yang memang meningkat dari waktu ke waktu yang telah membawa kita menjadi negara pengimpor minyak dan pengimpor gas yang sangat begantung pada negara lain. Berbagai sistem dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat seperti transportasi, industri, dan konsumsi rumah tangga yang ada juga banyak yang tidak sejalan dengan pengelolaan penggunaan sumber energi yang baik. Mengubah apa yang sudah terlanjur ada jelas akan  jauh lebih sulit darpada mengaturnya dari awal.

Di sisi lain, negara kita juga masih bergantung pada negara lain untuk sumber bahan pangan dimana kita masih harus mengimpor gula pasir, beras, jagung, kedelai, singkong, kentang, ikan, bahkan garam dapur. Ancaman lain yang datang dari pengelolaan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang belum dikelola dengan baik.

Kondisi tersebut sudah selayaknya mendapat perhatian lebih. Kembali ke logika sederhana tadi, selama kita belum dapat mengelola dengan baik atas kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat selama itu pula kita kan terus mengalami kesulitan  dalam mengatur APBN. APBN akan mengalami kerentanan terhadap ketidak pastian dan  pemborosan yang pada khirnya akan mengalami disfungsi sebagi alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Perubahan dan penataan ulang pengelolaan kebutuhan-kebutuhan dasar harus menjadi salah satu prioritas. Sebuah pekerjan rumah yang tidak mudah dan harus dilakukan bersama-sama serta memerlukan jangka waktu yang lama pastinya.
Apa boleh buat, serba terlanjur.


 Images credit : google


.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.