Saturday, March 21, 2020

Ide Gila Menangani Corona (Covid-19)



Mungkin kita tidak pernah membayangkan, kota-kota sibuk dunia bisa menjadi lengang dengan sangat minimnya aktivitas manusia layaknya film-film fiksi yang sering kita tonton. Nyatanya hari ini kita menyaksikan, kota-kota besar mendadak sunyi, seolah-olah lumpuh tak berdaya akibat kebijakan lock down otoritas pemerintah setempat, yang tak lain dan tak bukan, adalah karena satu penyebab yang sama, virus Corona.
Kebijakan social distancing, hingga lock down memang menjadi strategi yang paling popular untuk menghadapi penyebaran virus corona. Namun, negeri ratu Elisabeth punya proposal ide berbeda yang menurut saya cukup “Gila” untuk menghadapi ancaman virus corona.
“Herd Immunity”, mereka menyebutnya. dengan si Boris Johson sebagai salah satu aktor belakang layarnya. (Si Boris ini emang rada-rada…….yah, you know lah)

Apa itu “Herd Immunity”
 
singkatnya, “Herd Immunity” itu membiarkan sejumlah orang tertentu terinfeksi untuk membangun kekebalan alami akan penyakit tersebut, sehingga penyebaran virus terhenti.
Teori utama yang mendasari strategi tersebut adalah bahwa cara terbaik untuk menangani konsekuensi jangka panjang dari pandemi coronavirus adalah membiarkan virus menyebar secara alami untuk membangun populasi yang imun/kebal. Hal tersebut dikarenakan setidaknya 2 hal:
  1. Orang tertentu (lower risk people) dapat menciptakan kekebalananya sendiri apabila terinfeksi (dengan bantuan medis). Semakin banyak orang yang menjadi kebal, semakin rendah risiko penyebaran virusnya.
  2. Orang yang telah terinfeksi dan kemudian menjadi kebal, tidak bisa terinfeksi lagi dan tidak bisa menularkan ke orang lain.
Jadi, tidak ada pembatasan aktivitas seperti yang dilakukan banyak negara, hanya orang berusia di atas 70an dan mereka yang memiliki gejala mirip flu disarankan untuk tinggal di rumah. orang-orang yang tergolong “lower risk people” tetap dibiarian beraktivitas sebagaimana biasa.
Menurut mereka, sejumlah besar populasi pasti akan terinfeksi apa pun yang dilakukan. Pembatasan aktivitas melalui kebijakan social distancing / lockdown hanya dapat memperlambat lajunya. As you can’t stop it, so it is best to manage it. Kebijakan social distancing atau lockdown juga dianggap model yang tidak berkelanjutan dan menimbulkan kerugian yang sangat material. Kebijakan tersebut tidak bisa diterapkan dalam waktu yang lama hingga berbulan bulan. Jika tiba masanya social distancing / lockdown dicabut, laju penyebaran akan kembali meningkat sehinga Social distancing /Lockdown perlu kembali diberlakukan.
Jadi, tujuan dari strategi “Herd Immunity” adalah membiarkan virus menginfeksi lower risk people secara luas, untuk menciptakan populasi yang kebal terhadap corona. Kepala penasihat ilmiah Inggris (Sir Patrick) menyatakan, 60% orang Inggris - atau setidaknya 36 juta orang  perlu diinfeksi COVID-19 agar strategi berhasil.

Strategi tersebut lantas menuai banyak kritik dan kecaman, baik secara teori, teknis maupun secara etik.
Secara teori, keabsahan teori “herd immunity” masih menjadi pertanyaan. Menyusul adanya laporan dari pihak otoritas Jepang bahwa terdapat seorang pria yang telah berhasil disembuhkan dari Corona namun kembali divonis positif setelah selang beberapa minggu kemudian. Hal tersebut tentunya berkebalikan dengan teori dasar yang melandasi strategi "Herd Immunity"

Secara teknis, apabila virus dibiarkan menyebar, pemerintah harus menyiapkan fasilitas dengan kapasitas yang cukup untuk menampung orang-orang yang terinfeksi. Secara matematis, jumlah orang yang terinfeksi tidak boleh melebihi kapasitas fasilitas kesehatan yang dimiliki. Idealnya, angka yang masuk rumah sakit karena terinfeksi adalah sama dengan angka yang keluar RS karena berhasil disembuhkan dan telah menjadi kebal. Pemerintah harus mampu mengontrol laju pernyebaran virus, yaitu menurunkan lajunya jika angka penyebaran hampir memenuhi kapastias maksimum fasilitas kesehatan, dan menormalkan lajunya jika masih banyak fasilitas kesehatan yang belum terpakai. Bahkan sempat ada wacana, menggunakan anak-anak usia sekolah sebagai salah satu alat kontrol laju penyebaranya. Yaitu meliburkan sekolah bila menghendaki penurunan kecepatan penyebaran, dan menormalkan hari sekolah untuk mempercepat penyebaran. Hal tersebut karena anak-anak usia sekolah, berdasarkan data yang ada, tidak menunjukan adanya dampak berbahaya setelah terinfeksi virus, dan lebih bersifat hanya sebagai carrier (pembawa virus).
Mayarakat dituntut untuk mampu menilai dirinya sendiri apakah mereka termasuk lower risk people” atau bukan, people do what they think they wil”. Dalam sebuah kalkulasi akan ada sebuah error atau threshold. Bisa saja mereka yang terinfeksi ternyata bukan mereka yang termasuk “lower risk people”, atau bisa saja kapasitas fasilitas kesehatan ternyata tidak cukup menampung. Sampai sejauh mana/berapa persen toleransi error atau threshold yang dapat diterima perlu diperhitungkan. Adanya sejumlah orang yang harus “dikorbankan” dipandang tidak etis oleh sebagian besar masyarakat.
Membiarkan virus menyebar, membiarkan manusia dalam kondisi terinfeksi, menggunakan anak usai sekolah sebagai kontrol laju penyebaran, sementara pengetahuan akan virus tersebut masih terbatas dan teorinya masih perlu pembuktian-pembuktian, ini agak gila sih. Terlalu berani mengambil risiko menurut saya

Akhirnya Dibatalkan, tapi….

Hari Senin tanggal 17 Maret kemarin, Si Boris, Melalui pernyataan resminya, akhirnya mengakui bahwa strategi “herd immunity” adalah suatu kesalahan. Hal tersebut dikarenakan kemungkinan ketidakmampuan fasilitas kesehatan yang ada untuk menampung jumlah pasien, menyusul hasil kajian kasus penanganan corona di Italy, dimana 30% dari pasien memerlukan penanganan intensif yang tidak biasa, yang memerlukan banyak waktu dan sumber daya untuk penangananya.
Boris kemudian, menyarankan kepada seluruh warganya untuk melakukan pekerjaan dari rumah dan mengurangi perjalanan dan kegiatan sosial yang tidak perlu. Namun, Boris lebih memilih pendekatan kesukarelaan (go-it alone strategy) daripada pendekatan melalui larangan/aturan (mirip-mirip Donald Trump), yang lagi-lagi menuai banyak kritik dan kontroversi. Berbeda dengan yang dilakukan Negara lain, misalnya di Negara Prancis,Italy (saat ini), Yordania, dan Malaysia. Warganya bahkan akan didenda bila meninggalkan rumah tanpa melapor kepada pemerintah/tanpa alasan yang dapat diterima. Atau seperti di Lebanon dan Spanyol, dimana aparat bersenjata rajin menyisir jalanan kota untuk memastikan tidak ada aktivitas warga dan melakukan tidakan tegas apabila diperlukan. Dalih utama digunakanya pendekatan go-it alone strategy menurut Boris sih katanya culture orang British yang ga cocok kalo terlalu diatur dengan aturan, lebih efektif dengan rasionalisasi dan ajakan. Yah, mari kita lihat saja bagaimana kedepanya
Bagaimana dengan Indonesia?...... 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.