Mungkin kita tidak pernah membayangkan, kota-kota sibuk dunia bisa
menjadi lengang dengan sangat minimnya aktivitas manusia layaknya film-film
fiksi yang sering kita tonton. Nyatanya hari ini kita menyaksikan, kota-kota
besar mendadak sunyi, seolah-olah lumpuh tak berdaya akibat kebijakan lock down otoritas pemerintah setempat, yang tak lain dan tak
bukan, adalah karena satu penyebab yang sama, virus Corona.
Kebijakan social distancing,
hingga lock down memang menjadi strategi
yang paling popular untuk menghadapi penyebaran virus corona. Namun, negeri
ratu Elisabeth punya proposal ide berbeda yang menurut saya cukup “Gila” untuk
menghadapi ancaman virus corona.
“Herd Immunity”, mereka menyebutnya. dengan si Boris Johson sebagai
salah satu aktor belakang layarnya. (Si Boris ini emang rada-rada…….yah, you
know lah)
Apa itu “Herd Immunity”
singkatnya, “Herd Immunity” itu membiarkan
sejumlah orang tertentu terinfeksi untuk membangun kekebalan alami
akan penyakit tersebut, sehingga penyebaran
virus terhenti.
Teori utama yang mendasari strategi tersebut adalah bahwa cara terbaik untuk menangani konsekuensi jangka panjang dari
pandemi coronavirus adalah membiarkan virus menyebar secara alami untuk
membangun populasi yang imun/kebal. Hal tersebut dikarenakan setidaknya 2 hal:
- Orang tertentu (lower risk people) dapat menciptakan kekebalananya sendiri apabila terinfeksi (dengan bantuan medis). Semakin banyak orang yang menjadi kebal, semakin rendah risiko penyebaran virusnya.
- Orang yang telah terinfeksi dan kemudian menjadi kebal, tidak bisa
terinfeksi lagi dan tidak bisa menularkan ke orang lain.
Jadi, tidak ada
pembatasan aktivitas seperti yang dilakukan banyak negara, hanya orang berusia di atas 70an dan mereka yang
memiliki gejala mirip flu disarankan untuk tinggal di rumah. orang-orang yang tergolong “lower
risk people” tetap dibiarian beraktivitas sebagaimana biasa.
Menurut mereka, sejumlah besar populasi pasti akan terinfeksi
apa pun yang dilakukan. Pembatasan aktivitas
melalui kebijakan social distancing /
lockdown hanya dapat memperlambat lajunya. “As you can’t stop it, so it is best to manage it”. Kebijakan social distancing atau lockdown juga dianggap model yang tidak
berkelanjutan dan menimbulkan kerugian yang sangat material. Kebijakan tersebut
tidak bisa diterapkan dalam waktu yang lama hingga berbulan bulan. Jika tiba
masanya social distancing / lockdown
dicabut, laju penyebaran akan kembali meningkat sehinga Social distancing /Lockdown perlu kembali diberlakukan.
Jadi, tujuan
dari strategi “Herd Immunity” adalah membiarkan virus menginfeksi lower
risk people secara luas, untuk menciptakan populasi yang kebal terhadap
corona. Kepala penasihat ilmiah Inggris (Sir Patrick) menyatakan, 60% orang Inggris - atau setidaknya 36
juta orang perlu diinfeksi COVID-19 agar
strategi berhasil.
Strategi
tersebut lantas menuai banyak kritik dan kecaman, baik secara teori, teknis
maupun secara etik.
Secara teori,
keabsahan teori “herd immunity” masih menjadi pertanyaan. Menyusul adanya
laporan dari pihak otoritas Jepang bahwa terdapat seorang pria yang telah berhasil disembuhkan dari Corona namun kembali divonis positif setelah selang beberapa minggu
kemudian. Hal tersebut tentunya berkebalikan dengan teori dasar yang melandasi strategi "Herd Immunity"
Secara teknis,
apabila virus dibiarkan menyebar, pemerintah harus menyiapkan fasilitas dengan
kapasitas yang cukup untuk menampung orang-orang yang terinfeksi. Secara
matematis, jumlah orang yang terinfeksi tidak boleh melebihi kapasitas
fasilitas kesehatan yang dimiliki. Idealnya, angka yang masuk rumah sakit karena terinfeksi adalah sama dengan angka yang keluar RS karena
berhasil disembuhkan dan telah menjadi kebal. Pemerintah harus mampu mengontrol laju pernyebaran virus, yaitu
menurunkan lajunya jika angka penyebaran hampir memenuhi kapastias maksimum
fasilitas kesehatan, dan menormalkan lajunya jika masih banyak fasilitas
kesehatan yang belum terpakai. Bahkan sempat ada wacana, menggunakan anak-anak usia sekolah sebagai salah satu alat kontrol laju penyebaranya. Yaitu meliburkan sekolah bila menghendaki penurunan kecepatan penyebaran, dan menormalkan hari sekolah untuk mempercepat penyebaran. Hal tersebut karena anak-anak usia sekolah, berdasarkan data yang ada, tidak menunjukan adanya dampak berbahaya setelah terinfeksi virus, dan lebih bersifat hanya sebagai carrier (pembawa virus).
Mayarakat dituntut untuk mampu menilai dirinya
sendiri apakah mereka termasuk “lower risk people” atau bukan, “people do what they think they wil”. Dalam sebuah kalkulasi akan ada sebuah error atau threshold. Bisa saja
mereka yang terinfeksi ternyata bukan mereka yang termasuk “lower risk people”, atau bisa saja kapasitas
fasilitas kesehatan ternyata tidak cukup menampung. Sampai sejauh mana/berapa
persen toleransi error atau threshold yang dapat diterima perlu diperhitungkan.
Adanya sejumlah orang yang harus “dikorbankan” dipandang tidak etis oleh sebagian
besar masyarakat.
Membiarkan virus
menyebar, membiarkan manusia dalam kondisi terinfeksi, menggunakan anak usai sekolah sebagai kontrol laju penyebaran, sementara pengetahuan akan
virus tersebut masih terbatas dan teorinya masih perlu pembuktian-pembuktian,
ini agak gila sih. Terlalu berani mengambil risiko menurut saya
Akhirnya Dibatalkan, tapi….
Hari Senin
tanggal 17 Maret kemarin, Si Boris, Melalui pernyataan resminya, akhirnya
mengakui bahwa strategi “herd immunity” adalah suatu kesalahan. Hal tersebut
dikarenakan kemungkinan ketidakmampuan fasilitas kesehatan yang ada untuk
menampung jumlah pasien, menyusul hasil kajian kasus penanganan corona di Italy,
dimana 30% dari pasien memerlukan penanganan intensif yang tidak biasa, yang
memerlukan banyak waktu dan sumber daya untuk penangananya.
Boris kemudian,
menyarankan kepada seluruh warganya untuk melakukan pekerjaan dari rumah dan
mengurangi perjalanan dan kegiatan sosial yang tidak perlu. Namun, Boris lebih
memilih pendekatan kesukarelaan (go-it
alone strategy) daripada pendekatan melalui larangan/aturan (mirip-mirip
Donald Trump), yang lagi-lagi menuai banyak kritik dan kontroversi. Berbeda dengan
yang dilakukan Negara lain, misalnya di Negara Prancis,Italy (saat ini), Yordania, dan Malaysia. Warganya bahkan akan
didenda bila meninggalkan rumah tanpa melapor kepada pemerintah/tanpa alasan yang dapat diterima. Atau seperti di Lebanon dan Spanyol, dimana aparat bersenjata rajin menyisir jalanan kota untuk memastikan tidak ada aktivitas warga dan melakukan tidakan tegas apabila diperlukan. Dalih utama digunakanya pendekatan go-it
alone strategy menurut Boris sih katanya culture orang British yang ga cocok kalo terlalu diatur dengan aturan,
lebih efektif dengan rasionalisasi dan ajakan. Yah, mari kita lihat saja bagaimana
kedepanya
Bagaimana dengan
Indonesia?......
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.