Friday, November 10, 2017

Bermimpi, Gratis Tapi Mahal

Source image: Google
Kata orang, bermimpilah sebanyak-banyaknya toh bermimpi itu ga bayar alias gratis. Tidak salah memang, akan tetapi ungkapan tersebut mungkin hanya pas ditujukan  untuk orang yang enggan bermimpi. Di sisi lain, bagi sebagian orang, ada kondisi dimana bermimpi bukan hanya masalah keengganan atau mau tidak mau, tapi karena memang tidak bisa/mampu bermimpi, yang menjadikan mimpi menjadi barang yang mahal, bahkan sangat mahal.

Orang juga sering bilang bermimpilah setinggi-tinginya, karena ga ada yang bisa membatasi. Tapi sepertinya tidak sesederhana itu. Untuk bermimpi, setidaknya orang perlu inspirasi dan di beberapa kondisi perlu keberanian dan dukungan. Kesemuanya itu tentunya ditentukan oleh lingkungan masing-masing. Mimpi orang yang hidup di desa mungkin beda dengan mimpi mereka yang hidup di kota, mimpi anak dari keluarga yang pas-pasan mungkin beda dengan mimpi dari anak keluarga berkecukupan, mimpi dari anak negara A mungkin beda dengan mimpi dari anak negara B, dan seterusnya.

Inspirasi dibentuk oleh wawasan/pengetahuan yang dimiliki seseorang atau dengan kata lain, apa yang ia impikan adalah apa yang ia ketahui atau dibatasi oleh wawaan yang ia miliki. Kita mungkin cukup familiar dengan program “kelas inspirasi” yang merupakan bagian dari Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) yang digagas oleh Pak Anies Baswedan (Sorry, bukan kampanye). Bagi yang belum pernah mendengar, secara ringkas program ini mengajak para profesional dari berbagai macam profesi dan latar belakang untuk mengajar selama satu hari di SD yang intinya menceritakan tentang profesi masing-masing. Ide dasarnya simpel, memberikan wawasan/pengetahuan seluas-luasnya pada anak-anak tentang berbagai profesi yang ada sehingga mereka mempunyai banyak pilihan untuk menentukan mimpi-mimpi mereka. Semakin kaya wawasan/pengetahuan seseorang, semakin beragam mimpi yang bisa ia ciptakan. Seberapa baik lingkungan menciptakan kondisi yang memungkinkan seseorang memperluas wawasan/pengetahuan menjadi faktor yang penting. Ini perkara yang kompleks dan tidak mudah, menyangkut masalah pendidikan, keluarga, sarana penunjang, kebiasaan, budaya dll.

Saya teringat pengalaman menjelang kenaikan kelas 6 SD dulu. Saat itu saya menanyakan ke seorang kakak kelas, yang sepengetahuan saya dia cukup pinter di kelas meskipun bukan yang terbaik, yang saat itu akan melanjutkan ke jenjang SMP perihal SMP impianya yang ingin ia tuju. Sedikit gambaran, saya tinggal di suatu tempat dimana kondisi saat itu blm memungkinkan dan kurang merangsang mengembangkan pengetahuan/wawaasn dan memperkaya informasi, blm ada internet, minim perpustakaan, pergaulan yg terbatas dll. Dia bilang dia ga tau apa-apa, dia ga tau pengen sekolah dimana, dia ga tau pengen jadi apa nantinya, ga tau SMP mana yang bagus, serba ga tau. Tapi dia bilang dia ga ambil pusing, dan punya jalan mudah menentukan arah hidupnya. Dia bilang, kalo saya bingung nentuin pilihan tujuan, lihat saja orang yang paling pinter yang ada, trus liat keluarganya kira-kira pinter-pinter dan berkecukupan atau tidak. Kalau dia pinter, dari keluarga pinter, dan dari keluarga berada, ikutin saja pilihan-pilihanya, samain aja pilihanmu ga perlu repot-repot mikir sendiri. Agak aneh sih memang, tapi cukup logis. Intinya dia menyerahkan pilihannya kepada orang yang lebih pinter, orang yang lebih berwawasan, orang yang memiliki sumber daya untuk mengakses wawasan yang lebih luas dari dirinya, yang bisa diartikan punya kemampuan memilih yang lebih baik, make sense lah!

Ada pula sebuah materi stand up comedy yang menarik dari stand up comedian Mamat Al-Katiri, tentang mimpi-mimpi anak papua (dibawakan di salah satu episode SUCI 7 Kompas TV). Dia bercerita, sebelum dia memasuki dunia stand up comedy, semua mimpi anak Papua itu sama, ingin menjadi pesepak bola seperti Boa Solossa. Penyebabnya karene hanya itulah inspirasi yang mereka punyai. Mamat melanjutkan, oleh sebab itulah ia ingin sukes menjadi stand up comedian agar bisa memberikan tambahan inspirasi, menambah pilihan mimpi anak-anak papua. Terlepas dari benar atau tidaknya materi tersebut, saya kira gambaran hal tersebut cukup logis.

Kemudian pada beberapa kondisi, bermimpi ternyata memerlukan keberanian dan dukungan. Karena mimpi bisa jadi merupakan awal dari sebuah komitmen dan keberanian untuk mendobrak keadaan yang sulit, serasa diluar jangkauan, keluar dari zona nyaman. Orang yang berani bermimpi bisa jadi gambaran orang yang berani karena ia berani mengambil risiko, menentukan pilihan, berani bekerja keras. Disinilah, dukungan orang-orang dan lingkungan sekitar kembali memegang peranan. Orang yang semula tidak berani bisa jadi berani karena faktor dukungan, berani bermimpi bisa jadi karena ada pihak-pihak yang mendukung untuk bermimpi.

Tidak jarang orang dibilang aneh atau bahkan gila karena mimpi-mimpinya. Kalaulah Wright beraudara pada masanya saat itu tidak berani bermimpi tentang manusia yang bisa terbang karena takut diangap tidak waras oleh masyarakat sekitarnya, mungkin ia tidak bisa menciptakan mesin pertama yang bisa membuat manusia terbang. Itu cerita suksesnya, di sisi lain mungkin saja sebenarnya ada banyak mimpi-mimpi yang harus dikandaskan karena kurang mempunyai keberanian dan tidak didukung keadaan di sekitarnya.
Ketika SMP dan masih culun dulu saya pernah punya mimpi bisa pergi ke Milan (karena saat itu sedang seneng-senengnya menjadi tifosi AC Milan). Melihat situasi dan kondisi saat itu, punya mimpi semacam itu dianggap agak gak lumrah dan mengada-ada, saya sendiripun sebenarnya merasa demikian juga. Saya iseng menceritakan hal ini kepada teman saya tifosi Milan juga yang kebetulan lebih senior beberapa tahun dari saya. Responnya agak di luar dugaan, dia bilang kalo memang saya mempunyai mimpi yang semacam itu lebih baik tidak usah diceritakan ke orang lain, kecuali kl emang kamu bener-bener orang yang berani. Dia bilang, keinginan semacam itu bagi situasi dan kondisi serta lingkungan saya tinggal saat itu adalah lelucon, bisa-bisa diejek dan dihina yang ujungnya malah bikin masalah. “Ga percaya? Aku lho yang udah ngalamin” dia menambahkan. (Secara kebetulan, beberapa bulan yang lalu ternyata saya kesampean ke Milan, mungkin nanti akan ditulis di postingan terpisah).

Bermimpi bukan cuma masalah personal pribadi individu, tapi juga masalah di luar individu yang kompleks dan rumit. Bukan hanya masalah kemauan, tapi juga masalah pendidikan, keluarga, sarana penunjang, kebiasaan, budaya dll. Bermimpi memang gratis, tapi dia diciptakan dari proses yang mahal, sangat mahal. Makanya, kalo ada yang orang dengan tega, tanpa alasan atau dengan cara yang kurang ajar mengkandaskan mimpi seseorang, dia jahat, benar-benar jahat.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.