Thursday, April 17, 2014

Skeptisisme Dalam Penugasan Audit


Skeptisisme adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti, meragukan, mencurigakan (Wikipedia). Skeptisisme profesional sendiri belum memiliki definisi yang pasti (Hurtt, 2003, dan Quadackers, 2009), namun dari definisi kata skeptisisme dan profesional, dapat disimpulkan bahwa skeptisisme profesional auditor adalah sikap auditor yang selalu meragukan dan mempertanyakan segala sesuatu, dan menilai secara kritis bukti audit serta mengambil keputusan audit berlandaskan keahlian auditing yang dimilikinya. Skeptisisme bukan berarti tidak percaya, tapi mencari pembuktian sebelum dapat memercayai suatu pernyataan (Center for Audit Quality, 2010).Di dalam SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik, 2001:230.2), menyatakan skeptisisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit.

Pentingnya Skpetisisme Profesional
Para teoritis dan praktisi auditing sepakat bahwa skeptisisme profesional merupakan sikap mutlak yang harus dimiliki auditor. Salah satu penyebab dari suatu gagal audit (audit failure) adalah rendahnya skeptisisme profesional. Skeptisisme profesional yang rendah menumpulkan kepekaan auditor terhadap kecurangan baik yang nyata maupun yang berupa potensi, atau terhadap tanda-tanda bahaya yang mengindikasikan adanya kesalahan dan kecurangan. Auditor yang dengan disiplin menerapkan skeptisisme profesional, tidak akan terpaku pada prosedur audit yang tertera dalam program audit. Skeptisisme profesional akan membantu auditor dalam menilai dengan kritis resiko yang dihadapi dan memperhitungkan resiko tersebut dalam bermacam-macam keputusan.

Faktanya, skeptisisme profesional dalam auditing adalah penting karena: (1) skeptisisme profesional merupakan syarat yang harus dimiliki auditor yang tercantum di dalam standar audit (SPAP), (2) perusahaan-perusahaan audit internasional menyaratkan penerapan skeptisisme profesional dalam metodologi audit mereka, (3) skeptisisme profesional merupakan bagian dari pendidikan dan pelatihan auditor, dan (4) literatur akademik dan profesional di bidang auditing menekankan pentingnya skeptisisme profesional (Quadackers, 2009). Selain itu, banyak studi kasus yang oleh SEC (Security and Exchange Commissions) dilaporkan sebagai kegagalan auditor dalam mendeteksi salah saji material sebagai hasil dari kurangnya skeptisisme profesional, contohnya skandal Enron, WorldCom, Adelphia, dan Global Crossing (Quadackers, 2009, dan Kopp dkk, 2003).

Unsur-unsur Skeptisisme Profesional
Unsur-unsur professional skepticism dalam definisi International Federation of Accountants (IFAC), antara lain:
1.      a critical assessment – ada penilaian yang kritis, tidak menerima begitu saja;
2.      with a questioning mind – dengan cara berpikir yang terus menerus bertanya dan mempertanyakan;
3.      of the validity of audit evidence obtained – kesahihan dari bukti audit yang diperoleh;
4.      alert to audit evidence that contradicts – waspada terhadap bukti audit yang kontradiktif;
5.      brings into question the reability of documents and responses to inquiries and other information – mempertanyakan keandalan dokumen dan jawaban atas pertanyaan serta informasi lain;
6.      obtained from management and those charged with governance – yang diperoleh dari manajemen dan mereka yang berwenang dalam pengelolaan (perusahaan).

Karakterisitik Seorang Skeptisisme Profesioanl
Meskipun Standar Profesional Akuntan Publik telah mendefinisikan skeptisisme profesional, namun tidak ada pedoman praktis mengenai skeptisisme dalam penerapannya. Hurtt (2003) mengembangkan sebuah model skeptisisme profesional dan memetakan karakteristik yang dimiliki seseorang yang memiliki skeptisisme profesional. Karakteristik tersebut terdiri dari enam, yakni
1.        Pola pikir yang selalu bertanyatanya (questioning mind), mencerminkan sikap keragu-raguan seperti yang terdapat dalam definisi skeptisisme profesional secara umum maupun khusus dalam auditing.
2.        penundaan pengambilan keputusan (suspension of judgment), mencerminkan sikap yang tidak tergesa-gesa dalam melakukan suatu hal. Orang yang skeptis tetap akan mengambil suatu keputusan, namun tidak segera, karena mereka membutuhkan informasi-informasi pendukung lainnya untuk mengambil keputusan tersebut (Hurtt, 2003).
3.        Mencari pengetahuan (search for knowledge), menunjukkan bahwa orang yang skeptis memiliki sikap keingintahuan akan suatu hal. Berbeda dengan sikap bertanya-tanya, yang didasari keraguan atau ketidakpercayaan, karakteristik ketiga ini didasari karena keinginan untuk menambah pengetahuan (Hurtt, 2003).
4.        Kemampuan pemahaman interpersonal (interpersonal understanding), memberikan pemahaman bahwa orang yang skeptis akan mempelajari dan memahami individu lain yang memiliki pandangan dan persepsi yang berbeda mengenai suatu hal (Hurtt, 2003). Dengan memahami persepsi orang lain, orang yang skeptis akan mengambil kesimpulan dan beragumentasi untuk mengoreksi pendapat orang lain.
5.        Percaya diri (self-confidence), diperlukan oleh auditor untuk dapat menilai buktibukti audit, selain itu, percaya diri diperlukan oleh auditor untuk dapat berhadapan dengan berinteraksi dengan orang lain atau klien, termasuk juga beradu argumentasi dan mengambil tindakan audit yang diperlukan berdasarkan keraguan atau pertanyaan yang timbul dalam dirinya (Hurtt, 2003).
6.        Eterminasi diri (self-determination). diperlukan oleh auditor untuk mendukung pengambilan keputusan, yakni menentukan tingkat kecukupan bukti-bukti audit yang sudah diperolehnya (Hurtt, 2003).

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Skeptisisme Profesional
Sebagai karakteristik individual, skeptisisme dapat berbentuk sifat bawaan  (trait), dan juga situasional (state). Forehand dan Grier (2002) menemukan bahwa skeptisisme yang dimiliki seseorang dapat dimanipulasi dan bersifat aditif, artinya skeptisisme yang sudah tertanam sejak awal sebagai trait dapat diperkuat dengan manipulasi keadaan (state) yang semakin meningkatkan skeptisisme bawaan tersebut.
Kee dan Knox’s (1970) dalam model “Professional Scepticism Auditor” menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa Faktor kecondongan etika, Faktor-faktor situasi, dan faktor Pengalaman. Beberapa faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional meurut berbagai penelitian diantaranya :
1.        Pengalaman dan pengetahuan. Auditor dengan pengalaman yang banyak akan menunjukkan tingkat skeptisisme profesional yang lebih tinggi (Anugerah dkk, 2011)
2.        Relasi yang terbentuk antara auditor dan klien. Semakin dekat auditor dengan kliennya, semakin rendah skeptisisme profesionalnya, dan sebaliknya.
3.        Suasana hati (moods). Suasana hati (moods) dapat memengaruhi tingkah laku seseorang berdampak terhadap sikap, cara bekerja, dan cara berinteraksi dengan orang lain.
4.        Staf klien. Sebagai pihak yang mengetahui seluk-beluk perusahaannya, staf klien dapat mengarahkan auditor pada sektor-sektor yang dianggap aman untuk diperiksa
5.        Tekanan pasar. Staf auditor lebih tinggi daripada partner dan manajer dikarenakan staf auditor lebih fokus untuk menjalankan tugas di lapangan dengan sebaikbaiknya, sedangkan partner dan manajer yang berada di level atas lebih memikirkan mengenai masa depan hubungan mereka dengan klien dan citra perusahaan auditing (KAP) mereka di pasar, misalnya dengan kecepatan penyelesaian audit
6.        Kepercayaan interpersonal (interpersonal trust). Semakin rendah kepercayaan interpersonal auditor terhadap kliennya, semakin skeptis sikap yang ditunjukkannya


Referensi
http://akuntansi07-unp.blogspot.com/2012/10/skeptisme-profesional-auditor.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Skeptisisme

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.