![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjc5jMd-1Q66Z6F0z4tUPEu7OEWdKTt8C_J0d4XczLSvNHbA7rlXXBBscxvyhyphenhyphengtwpYBqsJD5O83ksQBSko_-MP0eJb8OKUJatpakQGXufZLYwYW29i4pSWLi4yubsQKhs_vkZhU90Gl-K5/s200/hujan-dan-rindu.jpg)
Catat saja ketika dulu ingin bergabung menjadi salah satu staf pada sebuah organisasi remaja di kampung, staf kehumasan. Dalam CV yang saya buat waktu itu dengan sangat rinci dan jelas saya cantumkan segala kelebihan, kekurangan termasuk sarana yang saya miliki yang sekiranya berhubungan dengan tugas staf kehumasan. Hal-hal kecil seperti “memiliki sepeda”, “tidak memiliki masalah kesehatan”, “mengenal banyak jalan” dan semacamnya juga dengan PeDenya tak luput disebutkan.
Atau ketika secara megejutkan ditunjuk untuk menjalankan tugas memimpin sebuah bidang di organisasi yang disebut sebelumya. Pada saat rapat serah terima jabatan saya tidak malu-malu menawarkan kepada audience sebuah value yang ingin saya berikan pada bidang yang saya pimpin nantinya (meskipun merasa terpaksa pada awalnya).
Ada juga momen awal-awal memasuki dunia kuliah, momen ketika saya dengan berani mengajukan diri sebagi ketua kelas, mengadu visi-misi dan program dengan calon ketua kelas lain
Begitu juga saat awal-awal memasuki dunia kerja. Dalam sebuah obrolan ringan dengan atasan saya utarakan bahwa saya menggaransi “kecepatan/kegesitan” dalam penyelesaian pekerjaan. Kenapa kecepatan? Karena saya sadar, dibanding dengan pegawai lain saya masih kalah ilmu dan pengalaman, hanya itu yg bisa saya janjikan.
Lalu Apa Benang merah dari momen-momen tersebut?
Adalah bahwa dalam setiap
keadaaan (posisi/jabatan/tanggung jawab) Selalu ada nilai/sesuatu yang ingin
dan dengan berani saya tawarkan, nilai/sesuatu yang ingin saya ‘Jual” di situ.
Berani “menjual” kelebihan dan mencoba, menchallenge diri sendiri. Paling tidak
harus ada minimal satu nilai/sesuatu yang bisa saya tawarkan, atau sebuah value
yang ingin dicapai.
“Menjual diri”
Dalam hal ini bukan tentang berapa banyak yang “membeli” atau berapa
banyak yang berhasil “terjual”, tetapi lebih kepada keberanian dan kepercayaan
diri untuk berani “menjual”, atau setidaknya mencoba.
Dan entah sejak kapan, entah karena peristiwa apa, entah karena sebab apa, rasa/kemauan dan keberanian untuk “menjual diri” tersebut memudar. Terkikis seiring berjalanya masa. Apakah karena faktor lingkungan ataukah degradasi kepribadian, entah.
Dan entah sejak kapan, entah karena peristiwa apa, entah karena sebab apa, rasa/kemauan dan keberanian untuk “menjual diri” tersebut memudar. Terkikis seiring berjalanya masa. Apakah karena faktor lingkungan ataukah degradasi kepribadian, entah.
Sekarang..
Seperti takjub, heran dengan apa yang saya lakukan dulu, “ko
bisa?". Melihat apa yang saya lakukan dulu
seperti melihat pribadi yang lain, seolah itu bukan bagian dari pribadi
saya, itu bukanlah saya..
Dan kadang-kadang, sesekali kepengin juga punya keberanian dan kemauan
yang sama seperti masa-masa dulu
Rindu
"Menjual Diri”
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.