Sebelum lahirnya undang-undang tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, tindak pidana korupsi sebenarnya sudah diatur dalam KUHP. Seiring berjalanya waktu, Pengaturan dalam KUHP ternyata dirasa kurang cukup. KUHP tidak lagi dapat memenuhi keperluan masyarakat di ranah politik, ekonomi dan sosial
Korupsi juga dianggap sebagai kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime) yang tidak saja merampas uang negara dan rakyat yang mengakibatkan kerugian bagi Negara tetapi merupakan perbuatan menistakan martabat kemanusian yang telah mengakibatkan kemiskinan bagi rakyat. Tindakanya tidak lagi berakbiat person to person, tapi Person to manY. Maka dari itu kemudian dibuatlah suatu Undang-undang tersendiri di luar KUHP yang mengatur masalah tindak pidana korupsi.
Pembuatan Undang-undang diluar KUHP tentang tindak pidana korupsi dimulai pada tahun 1950an. Usaha tersebut kemudian melahirkan Peraturan Pemberantasan Korupsi pertama di luar KUHP yaitu Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/06/1957, No. Prt/PM/03/1957, dan No. Prt/PM/011/1957. Kemudian setelah itu lahir UU No.24 (PRP) tahun 1960, UU No.3 tahun 1971, dan yang paling terakhir UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ditambah UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU NO.31 TAHUN 1999.
Ada yang sedikit kurang sreg menurut saya dengan undang-undang ini (UU No. 31 tahun 1999), yaitu pada penggunaaan "Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi" sebagai nama Undang-undang. Penggunaan kata "Pemberantasan" sepertinya kurang tepat.
Dalam bayangan saya, pemberantasan korupsi adalah sebuah upaya komperhensif yang mencakup upaya pencegahan (preventif) sampai dengan penindakan. Menurut KBBI pemberantasan berasal dari kata berantas yang berarti membasmi, memusnahkan. Sementara pemberantasan berarti : 1. cara, proses, perbuatan memberantas 2. pencegahan, pengucilan perkembangan, atau pemusnahan. Kemudian Pengertian pemberantasan korupsi menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi jelas bahwa Pemberantasan korupsi tidak hanya tentang penindakan/penghukuman, tetapi juga pencegahan
Akan tetapi apabila kita melihat isi dari uu nO.31 tahun 1999 tersebut semua pasal-pasalnya hanya menyangkut tenang masalah penuntutan, penindakan, dan pemberian sanksi terhadap tipikor yang sudah terjadi. tidak terdapat pasal mengenai tindakan pencegahan
Pembuktian Terbalik
Pada UU No.31 tahun 1999 azas pembuktian terbalik sudah diberlakukan akan tetapi bukan merupakan sebuah kewajiban melainkan sebuah hak tersangka. Pembuktian terbalik pada UU No.31 tahun 1999 bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Dalam pandangan kacamata dengan frame awam saya, pembuktian terbalik bisa jadi sarana ampuh untuk pemberantasan korupsi. Penyidik tidak perlu susah-susah mati2an mencari-cari bukti untuk pembuktian bahwa seseorang terbukti bersalah melakukan Tipikor.
Pembuktian terbalik mungkin sebaiknya bukan merupakan hak, tapi bisa diwajibkan Ketika terdapat seseorang disangkakan melakukan Tipikor, jaksa bisa memintanya untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak melakukan Tipikor (pembuktian terbalik). Apabila gagal mebuktikan, maka berarti ia korups. Tentunya tidak semua Tipikor kita kenakan pembuktian terbalik, harus ada ketentuan misalnya jumlah minimal kerugian negara
Hukuman Mati
Menurut UU No.31 tahun 1999, dalam keadaan tertentu hukuman mati dapat diberlakukan (Pasal 2:2). Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Banyak masyarakat yang geram dan menuntut hukuman mati diberlakukan bagi koruptor
Pertanyaanya, apakah benar hukuman mati bisa secara signifikan menurunkan korupsi di Indonesia?
mmmm...gimana yah, menurut saya ko engga yah. Hukuman mati kayanya tidak menjamin korupsi di Indonesia menurun secara signifikan. Mungkin ada penurunanya sih, tetapi tidak sesignifikan seperti apa yg diharapkan/dibayangkan
Pola pikir yang terbentuk pada para koruptor, didukung dengan banyaknya faktor2 pendukung korupsi bisa jadi membuat beratnya hukuman termasuk hukuman mati tidak secara efektif menurunkan korupsi di Indonesia.
Saya menyamakan pola pikir yang udah terbentuk itu sperti misalnya pola pikir para penumpang kereta yang biasa duduk diatas gerbong kereta. Suatu ketika terdapat kecelakaan penumpang diatas gerbong kereta yang jatuh dan meninggal. Resiko duduk diatas gerbong kereta sudah sangat jelas dan nyata yaitu meninggal dunia, ancaman mati. Akan tetapi keesokan harinya penumpang diatas gerbong kereta jumlahnya tetap saja masih banyak
Apa yang menyebabkan hal tersebut?
Mungkin karena pola pikir berbeda dari pola pikir orang normal sudah terbentuk. Faktor-faktor pendukung seperti tidak adanya pengawasan, hukuman, dan bayangan keuntungan yang diperoleh menjadi faktor tambahan.
Tapi pendapat-pendapat tadi mungkin hanya hanya ungkapan rasa frustasi terhadap korupsi yang tidak berkesudahan di negeri ini saja sih, entahlah
ah..sudahlah......
@guguh_chu

No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.